Suatu hari dia pernah ada. Sekilas saja dan itu cukup membuatku, yah, mengarahkan pandangan ke arahnya. Sekilas saja tapi terjadi berkali kali hingga aku merasa terbiasa.
Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Aku jadi sering memaki diri sendiri sambil menjambak rambut dan tak jarang kata makian itu berubah jadi Goblok.
Aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Aku tidak pernah menyesal. Sungguh. Aku suka masa masa itu. Aku suka kamu mengejekku dan membuatku merasa bahwa aku harus berjuang lebih keras lagi. Aku suka kamu berusaha mencelakakanku dan akhirnya aku tahu bahwa kamu sedang berusaha mengajarkanku bagaimana caranya melindungi diriku sendiri. Aku suka kamu membiarkanku marah sendirian. Itu adalah caramu untuk memberitahuku bahwa tidak ada gunanya ngomel ngomel sepanjang hari dan ngamuk tidak karuan.
Sumpah, aku tidak pernah menyesali itu. Aku senang bisa mengenalmu. Kita jauh tapi aku selalu merasa aku bisa berbicara denganmu lewat hati. Iya, mungkin sedikit berlebihan, tapi setiap kali mengingat kalimat kalimat sugestifmu yang pernah kau ucapkan padaku, aku selalu merasa semuanya baik baik saja seburuk apapun keadaanku.
Terimakasih. Terimakasih sudah ada disampingku disaat saat sulit. Meski cuma sebentar tapi kau sangat membantu. Tidak, itu bukan waktu yang singkat. Itu lama. Itu terlalu lama. Hingga rasanya namamu tidak bisa kuhapus.
"kadang kita sendiri musti nyiksa perasaan kita sendiri, bener deh!"
"hah?"
"iya, pernah nggak sih ngerasa gitu? kalo kamu pengen kuat dan lebih kuat lagi kamu latihannya gila gilaan kan?"
"iya, kata pelatihku, badan tuh jangan dimanja, biar nggak lembek! meskipun capek, badan musti dipaksa latihan terus, biar terbiasa! kalo nggak gitu ntar nggak bisa berotot badannya"
"sama kayak perasaan kan?"
Dan saat itu aku mulai berfikir dan mencoba mencerna supaya aku bisa mengerti.
"jangan manjain perasaan. jangan biarin perasaan kamu bingung. mau masuk sastra Inggris apa broadcast education?"
"bingung. aku suka dua duanya. udah diterima di broadcast lagi..."
"nah itu. biarpun kamu suka dua duanya. kamu musti milih salah satu. harus, kudu, wajib. hahahah. kamu udah gede, udah bisa milih sendiri"
"tapi bingung, adooooooh"
"pilih salah satu. lepasin yang satunya. biar dikata kamu suka dua jurusan itu, kamu harus ngelepas yang satunya dan konsen sama yang kamu pilih. ya emang bingung sih. tapi kalo nurutin perasaan terus kamu gak bakalan berhasil milih. perasaan itu juga mesti dipaksa milih dan dipaksa ngelupain. perasaan juga perlu disiksa supaya lebih kuat, biar nggak dikit dikit bingung, dikit dikit pusing."
Aku akhirnya mengerti. Dan itu yang kulakukan pada perasaanku sekarang. Membunuh perasaanku sendiri yang selama ini hanya tertuju padamu. Biarpun sulit. Aku capek, aku ingin menyerah. Tapi yah, dengan terus berjuang, aku bisa melupakanmu dan menjadi lebih tegar.
Sialan. Sialan. Sialan. Kenapa kamu hadir hanya untuk kulupakan??? Aku harus bagaimana? Aku belum berhasil. Aku belum berhasil. Kamu terlalu pintar mengukir kenangan kita berdua. Aku harus bagaimana?
Dan kamu harus tahu, aku bertemu dengan wujudmu. Iya, seseorang yang secara fisik mirip denganmu. Tidak terlalu sering bertemu, tapi tiap kali melihatnya aku merasa, aku melihatmu. Aku ingin bicara. Aku ingin menyapa. Aku ingin tersenyum. Sayangnya itu bukan kamu. Iya, aku tahu. Kasihan sekali aku.
Diakhir tulisan ini, satu hal yang bisa kulakukan, meskipun aku tahu itu sia sia: aku menangis. Tapi syukurlah, kamu sudah mengajariku bagaimana berpura pura tersenyum dan gembira. Aku senang pernah bersamamu. Aku tidak pernah menyesal. Aku senang kita pernah berbagi. Aku senang kamu pernah bilang;
"kenapa kamu nggak lahir lebih cepet ya? kamu lahirnya telat, eh, apa aku yang lahir kecepetan?"
Aku bingung, tapi akhirnya aku tahu maksudmu. Itu yang membuat kamu harus bersama orang lain kan? Orang yang tidak terlalu muda sepertiku.
Terimakasih. Sungguh. Aku sangat berterimakasih sudah mengajarkanku untuk ikhlas dan selalu berjuang untuk kuat. Aku berjanji, aku akan selalu tegar, seperti yang pernah kamu bilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar